NAFISAH Ahmad Shahab barangkali bisa disebut sebagai supermom. Di antara 12 anak hasil pernikahannya dengan almarhum Habib Alwi Idrus Shahab, sepuluh orang anaknya telah menjadi dokter. Di antara sepuluh dokter itu, tujuh orang bertitel spesialis.
Spesialisasi tujuh anak Nafisah itu pun tidak ecek-ecek. Si sulung, Dr dr Idrus Alwi SpPD KKV FECS FACC, meraih spesialisasi di bidang kardiovaskular. Anak pertama itu juga menjadi satu-satunya yang meraih gelar doktor di antara sepuluh dokter bersaudara itu. Kemudian, drg Farida Alwi menekuni bidang spesialisasi gigi, dr Shahabiyah MMR menjadi Dirut RSU Islam Harapan Anda di Tegal, dr Muhammad Syafiq SpPD, spesialis penyakit dalam, dr Suraiyah SpA (spesialisasi anak), dr Nouval Shahab SpU, spesialis urologi dan sedang menempuh pendidikan untuk gelar PhD di Jepang, dan dr Isa An Nagib SpOT mengambil bidang spesialisasi ortopedi.
Sementara tiga putra Nafisah yang lain masih bergelar dokter umum. Mereka adalah dr Fatinah yang menjabat wakil direktur RS Ibu dan Anak Permata Hati Balikpapan; dr Zen Firhan, dokter umum di Balai Pengobatan Depok Medical Service dan Sawangan Medical Center; dan dr Nur Dalilah, dokter umum di RS Permata Cibubur.
Dua anak Nafisah yang tidak berprofesi sebagai dokter adalah Durah Kamilia (anak keempat) dan Zainab (anak ketujuh). Durah menekuni bidang desain, sedangkan Zainab menggeluti bidang kimia. Dia sedang menempuh pendidikan S-2 kimia di Universitas Padjadjaran, Bandung.
“Dulu sih sebenarnya mau kuliah dokter juga. Tapi, pas ujian masuk lagi sakit, jadi keterima di pilihan kedua di jurusan kimia,” kata Zainab saat ditemui Jawa Pos bersama Nafisah dan Isa An Nagib (anak kesembilan) di kediaman si sulung di Puri Sri Wedari, Cibubur, Depok, Jawa Barat.
Sebenarnya keluarga Nafisah bukan keluarga dokter. Pendidikan Nafisah dan Alwi Idrus juga tidak tinggi-tinggi amat. Nafisah hanya lulusan SMA, sedangkan Alwi bertitel sarjana muda jurusan ekonomi. Mereka bekerja sebagai pedagang. Tapi, pasangan itu mampu mendidik anak-anaknya menjadi orang-orang hebat.
Berkat prestasi langka itu, Museum Rekor Dunia Indonesia (Muri) mengganjar keluarga asal Palembang, Sumatera Selatan, tersebut dengan gelar Profesi Dokter Terbanyak dalam Satu Keluarga.
Kendati sudah sepuh, Nafisah masih tampak sehat. Indra pendengarannya masih tajam. Ingatannya juga tetap kuat ketika menceritakan suka-duka membesarkan 12 anak hingga menjadi sarjana seperti sekarang.
Bagaimana mendidik sepuluh anak menjadi dokter” Menurut Nafisah, semua itu berkat didikan keras almarhum suaminya, Alwi Idrus Shahab. Awalnya keluarga tersebut adalah keluarga saudagar. Mereka memiliki toko di kawasan kota Palembang yang menyediakan kain dan batik. Grosir bisa, eceran oke.
Dagangan kain dan batik itu cukup sukses. Namun, Alwi tidak pernah mendidik anak-anaknya mengikuti jejak orang tua menjadi saudagar. Dia menginginkan semua anaknya menempuh pendidikan yang lebih tinggi daripada dirinya. Keinginan itu muncul, kata Isa An Nagib, karena pengalaman pribadi sang ayah.
Alwi yang lulusan sarjana muda jurusan ekonomi itu merupakan anak lelaki yang paling tua. Dia mengemban beban berat untuk membantu adik-adiknya. Keinginan menempuh pendidikan yang lebih tinggi tak kesampaian karena dirinya harus bekerja keras. “Beliau tak ingin itu terjadi kepada anak-anaknya,” katanya.
Karena itu, Alwi mendidik semua anaknya untuk belajar keras. Semua fasilitas yang berhubungan dengan pendidikan dia penuhi. Mulai buku hingga peralatan sekolah. “Abah itu dulu, anak-anak pagi minta, sore sudah ada,” kata Isa mengenang almarhum sang ayah yang meninggal pada 1996 itu.
Ide untuk ramai-ramai kuliah di kedokteran datang dari si sulung, Idrus Alwi. Dia adalah orang pertama dalam keluarga yang kuliah di kedokteran. Saat itu dia kuliah di Fakultas Kedokteran (FK) Universitas Indonesia (UI) Jakarta. Tiap mudik Lebaran, Idrus bercerita panjang lebar tentang asyiknya kuliah di kedokteran kepada saudara-saudaranya. Mereka pun tergiur. Sejak saat itu target utama adik-adik Idrus setelah lulus sekolah hanya satu: kuliah kedokteran. “Kampusnya boleh di mana saja. Pokoknya negeri. Soalnya, kuliah dokter kan mahal,” ujar Isa.
Gayung bersambut. Keinginan itu diamini oleh Alwi. Apalagi, profesi dokter merupakan jasa yang selalu dibutuhkan masyarakat. Lulusan fakultas kedokteran tak bakal nganggur.
Menurut Nafisah, membesarkan 12 anak susah-susah gampang. Disiplin harus ketat. Suaminya, Habib Alwi, kata Nafisah, memberlakukan aturan bahwa seluruh anak harus pulang setiap Magrib. Apa pun alasannya, tidak ada yang boleh keluar rumah bablas hingga Isya. “Kecuali ada undangan yang benar-benar nggak bisa ditunda,” kata Nafisah.
Aturan itu cukup efektif. Seluruh anaknya menurut. Kalaupun ada acara dengan teman-temannya, pasti mereka pulang dulu menjelang Magrib.
Dengan cara itu, kata Nafisah, me-manage 12 anak jadi gampang. Setelah Magrib, mereka juga tidak boleh langsung bablas hingga malam. Mereka harus mengaji dan baca-baca buku pelajaran di rumah walau sebentar. “Lagi pula, kalau ada kondangan atau acara, kan pasti setelah Isya. Nggak mungkin habis Magrib langsung pergi,” ujarnya.
Selain itu, keluarga besar tersebut juga sering meluangkan waktu untuk jalan bareng. Setiap Sabtu dan Minggu, toko keluarga Alwi hanya buka separo hari. Sisa waktu lainnya digunakan untuk berjalan-jalan ke taman atau kolam renang di sekitar Kota Palembang. “Pokoknya ngikutin kemauan anak,” kata Nafisah.
Kini, 12 bersaudara itu tidak lagi ber-home base di Palembang seperti dulu. “Markas” keluarga Shahab itu kini di perumahan Puri Sri Wedari, Cibubur, Depok, Jawa Barat. Di rumah si sulung. Kebanyakan di antara mereka pun bertempat tinggal di kawasan pinggiran Jakarta itu. Paling tidak, ada enam anak Nafisah yang tinggal di sekitar Depok. Beberapa di antara mereka kompak ikut praktik di Rumah Sakit Permata Cibubur.
Soal rumah sakit itu, si sulung juga yang jadi perintisnya. Pada 2003, bersama sejumlah kolega dokternya, Idrus mendirikan RS tersebut. Saat itu, kata Isa, daerah Cibubur masih sepi. Rumah sakit itu bahkan menjadi rumah sakit pertama di daerah tersebut. Alhasil, beberapa saudara Idrus yang lulus sekolah dokter pun diajak praktik di sana sekaligus tinggal di sana. “Lagi-lagi, kakak pertama yang mengawali,” ungkapnya.
Nafisah menuturkan, memiliki sepuluh anak dokter tidak selalu mendapat pujian orang. Malah ada yang mencibir. Apalagi kalau anak perempuan yang jadi dokter. “Buat apa sekolah lama-lama. Nanti tua, jodohnya sulit,” kata Nafisah menirukan komentar orang-orang.
Tapi, Nafisah percaya bahwa jodoh akan ikut dengan aktivitas anak. Perjalanan studi dokter yang panjang membuat mereka bertemu banyak orang. Karena itu, mitos itu tidak membuat dia ragu mendorong anak-anaknya menempuh pendidikan yang lebih tinggi.
Kata Nafisah, upaya menyekolahkan anaknya itu sempat mendapat cobaan ketika sang kepala keluarga meninggal dunia pada 1996. Saat itu, empat anaknya masih sekolah. Dua orang di kelas 3 SMA, satu orang di kelas 2 SMA. Sejumlah anak belum lulus kuliah.
Nafisah sempat sedikit terguncang dengan meninggalnya Alwi. Dia melupakan guncangan jiwanya itu dengan bekerja di toko. “Saat sibuk di toko nggak ingat, tapi pulang di rumah ingat lagi. Sedih rasanya,” kata nenek 30 cucu itu.
Selama dua tahun, perasaan itu terus dia alami. Namun, perempuan kelahiran 1 Agustus 1946 itu tak menyerah. Dengan toko dan warisan suami, pendidikan 12 anaknya terus diperjuangkan.
Beberapa anak yang sudah mentas dan bekerja ikut membantu ongkos sekolah dan kuliah. Beban itu, kata Nafisah, tidak terlalu berat. Sebab, toko mereka juga masih laris. “Tapi, tanah dan aset abah dijual semua untuk membiayai anak-anak sekolah,” ungkap Isa.
Sepuluh tahun setelah sang suami meninggal, Nafisah berhasil mengatar lulus anak-anaknya. Mereka juga sudah mandiri dan berkeluarga. Sejak saat itu, anak-anak melarang Nafisah sibuk di toko. Mereka lantas memboyong Nafisah ke Cibubur agar dekat dengan anak-anak dan cucu-cucunya. Kini Nafsiah tidak lagi sibuk berjualan kain dan batik.
Spesialisasi tujuh anak Nafisah itu pun tidak ecek-ecek. Si sulung, Dr dr Idrus Alwi SpPD KKV FECS FACC, meraih spesialisasi di bidang kardiovaskular. Anak pertama itu juga menjadi satu-satunya yang meraih gelar doktor di antara sepuluh dokter bersaudara itu. Kemudian, drg Farida Alwi menekuni bidang spesialisasi gigi, dr Shahabiyah MMR menjadi Dirut RSU Islam Harapan Anda di Tegal, dr Muhammad Syafiq SpPD, spesialis penyakit dalam, dr Suraiyah SpA (spesialisasi anak), dr Nouval Shahab SpU, spesialis urologi dan sedang menempuh pendidikan untuk gelar PhD di Jepang, dan dr Isa An Nagib SpOT mengambil bidang spesialisasi ortopedi.
Sementara tiga putra Nafisah yang lain masih bergelar dokter umum. Mereka adalah dr Fatinah yang menjabat wakil direktur RS Ibu dan Anak Permata Hati Balikpapan; dr Zen Firhan, dokter umum di Balai Pengobatan Depok Medical Service dan Sawangan Medical Center; dan dr Nur Dalilah, dokter umum di RS Permata Cibubur.
Dua anak Nafisah yang tidak berprofesi sebagai dokter adalah Durah Kamilia (anak keempat) dan Zainab (anak ketujuh). Durah menekuni bidang desain, sedangkan Zainab menggeluti bidang kimia. Dia sedang menempuh pendidikan S-2 kimia di Universitas Padjadjaran, Bandung.
“Dulu sih sebenarnya mau kuliah dokter juga. Tapi, pas ujian masuk lagi sakit, jadi keterima di pilihan kedua di jurusan kimia,” kata Zainab saat ditemui Jawa Pos bersama Nafisah dan Isa An Nagib (anak kesembilan) di kediaman si sulung di Puri Sri Wedari, Cibubur, Depok, Jawa Barat.
Sebenarnya keluarga Nafisah bukan keluarga dokter. Pendidikan Nafisah dan Alwi Idrus juga tidak tinggi-tinggi amat. Nafisah hanya lulusan SMA, sedangkan Alwi bertitel sarjana muda jurusan ekonomi. Mereka bekerja sebagai pedagang. Tapi, pasangan itu mampu mendidik anak-anaknya menjadi orang-orang hebat.
Berkat prestasi langka itu, Museum Rekor Dunia Indonesia (Muri) mengganjar keluarga asal Palembang, Sumatera Selatan, tersebut dengan gelar Profesi Dokter Terbanyak dalam Satu Keluarga.
Kendati sudah sepuh, Nafisah masih tampak sehat. Indra pendengarannya masih tajam. Ingatannya juga tetap kuat ketika menceritakan suka-duka membesarkan 12 anak hingga menjadi sarjana seperti sekarang.
Bagaimana mendidik sepuluh anak menjadi dokter” Menurut Nafisah, semua itu berkat didikan keras almarhum suaminya, Alwi Idrus Shahab. Awalnya keluarga tersebut adalah keluarga saudagar. Mereka memiliki toko di kawasan kota Palembang yang menyediakan kain dan batik. Grosir bisa, eceran oke.
Dagangan kain dan batik itu cukup sukses. Namun, Alwi tidak pernah mendidik anak-anaknya mengikuti jejak orang tua menjadi saudagar. Dia menginginkan semua anaknya menempuh pendidikan yang lebih tinggi daripada dirinya. Keinginan itu muncul, kata Isa An Nagib, karena pengalaman pribadi sang ayah.
Alwi yang lulusan sarjana muda jurusan ekonomi itu merupakan anak lelaki yang paling tua. Dia mengemban beban berat untuk membantu adik-adiknya. Keinginan menempuh pendidikan yang lebih tinggi tak kesampaian karena dirinya harus bekerja keras. “Beliau tak ingin itu terjadi kepada anak-anaknya,” katanya.
Karena itu, Alwi mendidik semua anaknya untuk belajar keras. Semua fasilitas yang berhubungan dengan pendidikan dia penuhi. Mulai buku hingga peralatan sekolah. “Abah itu dulu, anak-anak pagi minta, sore sudah ada,” kata Isa mengenang almarhum sang ayah yang meninggal pada 1996 itu.
Ide untuk ramai-ramai kuliah di kedokteran datang dari si sulung, Idrus Alwi. Dia adalah orang pertama dalam keluarga yang kuliah di kedokteran. Saat itu dia kuliah di Fakultas Kedokteran (FK) Universitas Indonesia (UI) Jakarta. Tiap mudik Lebaran, Idrus bercerita panjang lebar tentang asyiknya kuliah di kedokteran kepada saudara-saudaranya. Mereka pun tergiur. Sejak saat itu target utama adik-adik Idrus setelah lulus sekolah hanya satu: kuliah kedokteran. “Kampusnya boleh di mana saja. Pokoknya negeri. Soalnya, kuliah dokter kan mahal,” ujar Isa.
Gayung bersambut. Keinginan itu diamini oleh Alwi. Apalagi, profesi dokter merupakan jasa yang selalu dibutuhkan masyarakat. Lulusan fakultas kedokteran tak bakal nganggur.
Menurut Nafisah, membesarkan 12 anak susah-susah gampang. Disiplin harus ketat. Suaminya, Habib Alwi, kata Nafisah, memberlakukan aturan bahwa seluruh anak harus pulang setiap Magrib. Apa pun alasannya, tidak ada yang boleh keluar rumah bablas hingga Isya. “Kecuali ada undangan yang benar-benar nggak bisa ditunda,” kata Nafisah.
Aturan itu cukup efektif. Seluruh anaknya menurut. Kalaupun ada acara dengan teman-temannya, pasti mereka pulang dulu menjelang Magrib.
Dengan cara itu, kata Nafisah, me-manage 12 anak jadi gampang. Setelah Magrib, mereka juga tidak boleh langsung bablas hingga malam. Mereka harus mengaji dan baca-baca buku pelajaran di rumah walau sebentar. “Lagi pula, kalau ada kondangan atau acara, kan pasti setelah Isya. Nggak mungkin habis Magrib langsung pergi,” ujarnya.
Selain itu, keluarga besar tersebut juga sering meluangkan waktu untuk jalan bareng. Setiap Sabtu dan Minggu, toko keluarga Alwi hanya buka separo hari. Sisa waktu lainnya digunakan untuk berjalan-jalan ke taman atau kolam renang di sekitar Kota Palembang. “Pokoknya ngikutin kemauan anak,” kata Nafisah.
Kini, 12 bersaudara itu tidak lagi ber-home base di Palembang seperti dulu. “Markas” keluarga Shahab itu kini di perumahan Puri Sri Wedari, Cibubur, Depok, Jawa Barat. Di rumah si sulung. Kebanyakan di antara mereka pun bertempat tinggal di kawasan pinggiran Jakarta itu. Paling tidak, ada enam anak Nafisah yang tinggal di sekitar Depok. Beberapa di antara mereka kompak ikut praktik di Rumah Sakit Permata Cibubur.
Soal rumah sakit itu, si sulung juga yang jadi perintisnya. Pada 2003, bersama sejumlah kolega dokternya, Idrus mendirikan RS tersebut. Saat itu, kata Isa, daerah Cibubur masih sepi. Rumah sakit itu bahkan menjadi rumah sakit pertama di daerah tersebut. Alhasil, beberapa saudara Idrus yang lulus sekolah dokter pun diajak praktik di sana sekaligus tinggal di sana. “Lagi-lagi, kakak pertama yang mengawali,” ungkapnya.
Nafisah menuturkan, memiliki sepuluh anak dokter tidak selalu mendapat pujian orang. Malah ada yang mencibir. Apalagi kalau anak perempuan yang jadi dokter. “Buat apa sekolah lama-lama. Nanti tua, jodohnya sulit,” kata Nafisah menirukan komentar orang-orang.
Tapi, Nafisah percaya bahwa jodoh akan ikut dengan aktivitas anak. Perjalanan studi dokter yang panjang membuat mereka bertemu banyak orang. Karena itu, mitos itu tidak membuat dia ragu mendorong anak-anaknya menempuh pendidikan yang lebih tinggi.
Kata Nafisah, upaya menyekolahkan anaknya itu sempat mendapat cobaan ketika sang kepala keluarga meninggal dunia pada 1996. Saat itu, empat anaknya masih sekolah. Dua orang di kelas 3 SMA, satu orang di kelas 2 SMA. Sejumlah anak belum lulus kuliah.
Nafisah sempat sedikit terguncang dengan meninggalnya Alwi. Dia melupakan guncangan jiwanya itu dengan bekerja di toko. “Saat sibuk di toko nggak ingat, tapi pulang di rumah ingat lagi. Sedih rasanya,” kata nenek 30 cucu itu.
Selama dua tahun, perasaan itu terus dia alami. Namun, perempuan kelahiran 1 Agustus 1946 itu tak menyerah. Dengan toko dan warisan suami, pendidikan 12 anaknya terus diperjuangkan.
Beberapa anak yang sudah mentas dan bekerja ikut membantu ongkos sekolah dan kuliah. Beban itu, kata Nafisah, tidak terlalu berat. Sebab, toko mereka juga masih laris. “Tapi, tanah dan aset abah dijual semua untuk membiayai anak-anak sekolah,” ungkap Isa.
Sepuluh tahun setelah sang suami meninggal, Nafisah berhasil mengatar lulus anak-anaknya. Mereka juga sudah mandiri dan berkeluarga. Sejak saat itu, anak-anak melarang Nafisah sibuk di toko. Mereka lantas memboyong Nafisah ke Cibubur agar dekat dengan anak-anak dan cucu-cucunya. Kini Nafsiah tidak lagi sibuk berjualan kain dan batik.
Terimakasihibu On Twitter
TerimakasihAyah On Twitter