Selera makanku mendadak punah. Hanya  ada rasa kesal dan jengkel yang   memenuhi kepala ini. Duh, betapa tidak  gemas, dalam keadaan lapar   memuncak seperti ini, makanan yang  tersedia tak ada yang memuaskan   lidah. Sayur sop rasanya manis bak  kolak pisang, sedang perkedelnya asin   tak ketulungan.
"Kapan  kamu dapat memasak dengan  benar? Selalu saja,  kalau tak keasinan,  kemanisan, kalau tak keaseman,  ya kepedesan!" Ya,  aku tak bisa menahan  emosi untuk tak menggerutu.
"Sabar ya" Ucap isteriku kalem.
"Iya.  Tapi ayah kan manusia biasa. ayah  tak tahan kalau makan terus menerus seperti ini!" Jawabku  masih  dengan  nada tinggi.
Mendengar  ucapanku yang bernada emosi,  kulihat isteriku menundukkan  kepala  dalam-dalam. Kalau sudah begitu,  aku yakin pasti air matanya  merebak.
*******
Sepekan   sudah aku ke luar kota. Dan tentu, ketika pulang benak ini  penuh  dengan  jumput-jumput harapan untuk menemukan baiti jannati di  rumahku.  Namun  apa yang terjadi? Ternyata kenyataan tak sesuai dengan  apa yang   kuimpikan. Sesampainya di rumah, kepalaku malah mumet tujuh  keliling.   Bayangkan saja, rumah kontrakanku tak ubahnya laksana kapal  pecah.   Pakaian bersih yang belum disetrika menggunung di sana sini.    Piring-piring kotor berpesta-pora di dapur, dan cucian, wouw!    berember-ember. Ditambah lagi aroma bau busuknya yang menyengat, karena    berhari-hari direndam dengan deterjen tapi tak juga dicuci. Melihat    keadaan seperti ini aku cuma bisa beristigfar sambil mengurut dada. 
"Ibu.. Ibu , bagaimana Ayah tak selalu kesal kalau keadaan terus   menerus  begini?" ucapku sambil menggeleng-gelengkan kepala. "Ibu…   sebagai isteri itu tak hanya pandai bersabar tapi dia juga   harus  pandai dalam mengatur urusan rumah tangga. Harus bisa    masak, nyetrika, nyuci, jahit baju, beresin rumah?"
Belum   sempat kata-kataku habis sudah terdengar ledakan tangis  isteriku yang   kelihatan begitu pilu. "Ah…wanita gampang sekali untuk  menangis,"   batinku. "Sudah diam bu, tak boleh cengeng. Katanya mau jadi  isteri yang baik? Isteri yang baik itu tidak cengeng," bujukku hati-hati  setelah   melihat air matanya menganak sungai.
"Gimana  nggak nangis!  Baru juga pulang sudah ngomel-ngomel terus.  Rumah ini  berantakan karena  memang Ibu tak bisa mengerjakan apa-apa.  Jangankan  untuk kerja, jalan  saja susah. Ibukan muntah-muntah terus,  ini badan  rasanya tak  bertenaga sama sekali," ucap isteriku diselingi  isak  tangis. "Ayah enggak  ngerasain sih bagaimana maboknya orang yang  hamil  muda…" Ucap isteriku  lagi, sementara air matanya kulihat tetap   merebak.
Hamil muda?!?! Senangnya dalam hatiku berseru.. !!
********
Ayah…,  siang nanti antar Ummi ya…?" pinta isteriku. "Aduh, bu…  Ayah kan  sibuk sekali hari ini. Berangkat sendiri saja ya?" ucapku.
"Ya sudah, kalau Ayah sibuk, Ibu naik bis umum saja, mudah-mudahan nggak pingsan di jalan," jawab isteriku.
"Lho, kok bilang gitu…?" selaku.
"Iya, dalam kondisi muntah-muntah seperti ini kepala Ibu gampang pusing kalau mencium bau bensin. Apalagi ditambah berdesak-desakan dalam dengan suasana panas menyengat. Tapi mudah-mudahan sih nggak kenapa-kenapa," ucap isteriku lagi.
"Ya sudah, kalau begitu naik bajaj saja," jawabku ringan.
*******
Pertemuan  dengan mitra usahaku hari ini ternyata diundur pekan  depan.   Kesempatan waktu luang ini kugunakan untuk menjemput isteriku.  Entah   kenapa hati ini tiba-tiba saja menjadi rindu padanya. Motorku  sudah   sampai di tempat isteriku mengaji. Di depan pintu kulihat masih  banyak   sepatu berjajar, ini pertanda acara belum selesai. Kuperhatikan  sepatu   yang berjumlah delapan pasang itu satu persatu. Ah, semuanya    indah-indah dan kelihatan harganya begitu mahal. "Wanita, memang suka    yang indah-indah, sampai bentuk sepatu pun lucu-lucu," aku membathin. 
Mataku  tiba-tiba terantuk pandang pada sebuah sendal jepit yang  diapit   sepasang sepatu indah. Kuperhatikan ada inisial huruf M tertulis  di   sandal jepit itu. Dug! Hati ini menjadi luruh. "Oh….bukankah ini  sandal   jepit isteriku?" tanya hatiku. Lalu segera kuambil sandal jepit  kumal   yang tertindih sepatu indah itu. Tes! Air mataku jatuh tanpa  terasa.   Perih nian rasanya hati ini, kenapa baru sekarang sadar bahwa  aku tak   pernah memperhatikan isteriku. Sampai-sampai kemana-mana ia  pergi  harus  bersandal jepit kumal. Sementara teman-temannnya bersepatu   bagus.
"Maafkan aku Maryam," pinta hatiku.
"Krek…,"  suara pintu terdengar dibuka. Aku terlonjak, lantas   menyelinap ke  tembok samping. Kulihat dua wanita berjalan melintas sambil   menggendong  bocah mungil yang indah dan cerah, secerah warna   baju. Beberapa menit setelah kepergian dua ukhti  itu,   kembali melintas wanita-wanita yang lain. Namun, belum juga  kutemukan   Maryamku. Aku menghitung sudah delapan orang keluar dari  rumah itu,  tapi  isteriku belum juga keluar. Penantianku berakhir ketika  sesosok  tubuh  berabaya gelap dan melintas. "Ini dia istriku!"  pekik hatiku. Ia beda dengan yang lain, ia begitu  bersahaja.  Kalau yang  lain memakai baju berbunga cerah indah, ia hanya  memakai  baju warna  gelap yang sudah lusuh pula warnanya. Diam-diam  hatiku  kembali dirayapi  perasaan berdosa karena selama ini kurang   memperhatikan isteri.
Ya,  aku baru sadar, bahwa semenjak  menikah belum pernah membelikan   sepotong baju pun untuknya. Aku terlalu  sibuk memperhatikan   kekurangan-kekurangan isteriku, padahal di balik  semua itu begitu  banyak  kelebihanmu, wahai Maryamku. Aku benar-benar  menjadi malu pada Tuhan. Selama ini aku terlalu sibuk  mengurus orang lain,  sedang  isteriku tak pernah kuurusi. "Yang terbaik  di antara kamu adalah yang paling baik  terhadap  keluarganya."
Sedang  aku? Ah, kenapa pula aku lupa  bahwa Tuhan menyuruh para  suami agar  menggauli isterinya dengan baik.  Sedang aku terlalu sering  ngomel dan  menuntut isteri dengan sesuatu  yang ia tak dapat  melakukannya. Aku  benar-benar merasa menjadi suami  terzalim!
"Maryam…!"  panggilku, ketika tubuh berabaya gelap itu  melintas.  Tubuh itu lantas  berbalik ke arahku, pandangan matanya  menunjukkan  ketidakpercayaan  atas kehadiranku di tempat ini. Namun,  kemudian  terlihat perlahan  bibirnya mengembangkan senyum. Senyum  bahagia.
"Ayah…!" bisiknya pelan dan girang. Sungguh, baru kali ini aku  melihat isteriku segirang ini.
"Ah, betapa manisnya wajah istriku ketika sedang kegirangan… kenapa tidak dari dulu kulakukan menjemput isteri?" sesal hatiku.
******
Esoknya  aku membeli sepasang sepatu untuk isteriku. Ketika tahu hal   itu,  senyum bahagia kembali mengembang dari bibirnya. "Terimakasih Ayah" ucapnya dengan suara mendalam dan penuh ketulusan.
Ah,  Maryamku, lagi-lagi hatiku terenyuh melihat polahmu. Lagi-lagi   sesal  menyerbu hatiku. Kenapa baru sekarang aku bisa bersyukur   memperoleh  isteri yang penyabar dan penyayang sepertimu? Kenapa baru   sekarang  pula kutahu betapa nikmatnya menyaksikan matamu yang   berbinar-binar  karena perhatianku?
Source : http://tokobetawi.blogspot.com/search/label/Kisah%20Hikmah 
