Ketika  Istri Lebih Mapan — Sudah menjadi fenomena umum wanita mengambil peran  kerja dan mencari nafkah di luar rumah. Namun, penyesuaian diri pria  atau wanita terhadap pergeseran pola peran ini tampaknya belum tuntas.  Banyak persoalan rumah tangga dipicu oleh kesulitan dalam penyesuaian  diri ini.
Ketika Istri Lebih Mapan  
 
Seorang  suami, sebutlah namanya Didin (43 tahun), mengalami depresi karena  telah lima tahun memiliki penghasilan lebih kecil daripada istrinya.  Lima tahun lalu ia manajer sebuah perusahaan ternama yang mengalami PHK  akibat rasionalisasi. Saat ini, ia menjalankan modal seorang teman untuk  usaha, meski belum untung.
Istrinya  pegawai negeri sipil di sebuah departemen. Mereka telah menikah selama  16 tahun dan dikaruniai dua anak. Dengan penghasilan lebih kecil dari  istri, Pak Didin merasa tidak berharga. Sebagai suami, ia merasa kalah  pamor dan prestasi kerja dibanding istrinya. Ia merasa malu dengan gelar  kesarjanaannya. Padahal, dulu ia berprestasi di sekolah. Ia juga selalu  diterima di sekolah-sekolah favorit; sewaktu SMA pernah menjadi pelajar  teladan; masuk perguruan tinggi negeri terkenal melalui jalur PMDK.
Akibat  lebih jauh: ia merasa minder dan tidak bergairah lagi dalam urusan  seks. Baginya, istrinya bukan wanita yang lemah lembut lagi, melainkan  seolah-olah wanita karier yang bertangan besi.  
Ia  merasa posisinya sangat lemah sehingga berpikir bahwa sewaktu-waktu  istrinya bisa saja meninggalkan dia. Karena depresi dan lelah pikiran,  ia sempat beberapa kali tidak pulang dan tidur di tempat kerja dengan  alasan banyak pekerjaan.
Mengakhiri  ceritanya yang sangat runtut, menunjukkan kecerdasannya, Pak Didin  bertanya: Bagaimana caranya agar tidak selalu merasa tertekan dengan  kesuksesan dan kemampuan istri serta pikiran-pikiran negatif lainnya? 
Ia  juga bertanya, ”Apa yang salah dengan diri saya sebenarnya? Bagaimana  saya harus memandang dan menyikapi kenyataan hidup seperti ini?”
Analisis 
Pak  Didin mungkin tidak sendirian menghadapi persoalan semacam ini. Hal ini  mengingat bahwa banyak konflik suami-istri terjadi karena persoalan  serupa, bahkan telah mengakibatkan perceraian. 
Untunglah  Pak Didin cukup bijaksana dengan menyadari bahwa berbagai pikiran dan  perasaan negatif dalam dirinya itu bukanlah kenyataan, melainkan pikiran  subyektifnya yang sulit dikendalikan. Dengan demikian, akan lebih mudah  baginya untuk menjadi lebih obyektif dan membawa pikiran-pikiran dan  perasaan-perasaan itu ke arah positif. 
Dalam  persoalan ini, tampak terdapat tiga hal yang menjadi penyebab  terjadinya kelelahan mental dan depresi yang dialami Pak Didin: post  power syndrome, keyakinan terhadap peran gender tradisional, dan masalah  komunikasi.
"Post power syndrome"
Ini  merupakan respons negatif akibat kehilangan status/kekuasaan. Hal ini  terjadi bila seseorang terlalu mendasarkan harga dirinya pada status  atau kekuasaan. Respons ini dapat muncul dalam tiga bentuk gejala:
- Gejala fisik, misalnya tampak menjadi jauh lebih cepat tua, pemurung, lemah tubuhnya, tidak bergairah, dan sebagainya;
 - Gejala emosi, misalnya cepat tersinggung, merasa tidak berharga, ingin menarik diri dari lingkungan pergaulan, dan sebagainya;
 - Gejala perilaku, misalnya menjadi mudah melakukan pola-pola kekerasan atau menunjukkan kemarahan, baik di rumah atau di tempat yang lain.
 
Pada  Pak Didin, gejala post power syndrome tampak dalam bentuk gejala fisik  (tidak bergairah, kehilangan dorongan seks), emosi (perasaan negatif  terhadap istri, iri dan dengki, merasa tidak berharga), serta perilaku  (menarik diri dari lingkungan rumah, ingin membakar ijazah, dan  sebagainya).
Apakah  ia mendasarkan harga dirinya pada status/kekuasaan? Tampaknya iya. Hal  ini terbentuk karena hampir sepanjang hidupnya ia menikmati status  sebagai individu yang berprestasi tinggi hingga menjadi manajer sebuah  perusahaan ternama. Harga dirinya terbentuk terutama karena status  unggul yang dimilikinya. Sebagai akibat langsung dari kehilangan status  unggul tersebut (pengalaman PHK, pekerjaan baru yang tidak menjanjikan  status, penghasilan lebih kecil daripada istri), ia mengalami pukulan  luar biasa.
Tanpa  ia sadari, ia melakukan generalisasi, seolah-olah kegagalan dalam  pekerjaan itu merupakan kegagalan dirinya secara menyeluruh. Dari  sinilah berkembang pikiran dan perasaan negatif (yang sifatnya  subyektif), baik terhadap diri sendiri maupun orang lain (khususnya  istri). Akibatnya, ia menjadi sangat kehilangan harga diri.
Budaya patriarki dan peran gender tradisional
Meskipun  persamaan martabat pria dan wanita umumnya sudah diakui, masih banyak  anggota masyarakat (termasuk di negara maju) yang berpegang pada budaya  patriarki: pria harus memiliki status lebih unggul daripada wanita.
Hal  ini berkaitan dengan keyakinan peran gender tradisional yang menyatakan  bahwa suami harus berperan sebagai pencari nafkah dan istri sebagai  pengurus rumah tangga. Dalam pembagian peran gender tradisional ini  secara implisit diyakini bahwa status pencari nafkah lebih unggul  daripada pengurus rumah tangga.
Secara  konseptual diakui bahwa martabat pria dan wanita adalah sama, dan dalam  praksis juga telah diberikan peluang (hak) yang sama antara pria dan  wanita dalam dunia kerja. 
Namun,  bila pada individu masih terdapat keyakinan akan perbedaan status pria  dan wanita, maka telah terjadi disonansi kognitif (ketidakselarasan  dalam berpikir). Akibatnya, timbul persoalan dalam kognisi dan dalam  relasi pribadi.
Dalam  hal ini setidaknya Pak Didin memiliki keyakinan bahwa sebagai suami ia  harus lebih unggul daripada istrinya, khususnya sebagai pencari nafkah  yang sukses. Padahal, dalam situasi sekarang, ketika istri juga bekerja,  kesempatan sukses juga ada pada istri. 
Pola  hubungan yang sesuai adalah berdasarkan kesetaraan dan rasa kebersamaan  yang utuh. Dengan pola ini, keberhasilan suami akan dirasa sebagai  keberhasilan istri juga, dan keberhasilan istri dirasa sebagai  keberhasilan suami pula. 
Demikian  pula dengan kegagalan. Pola hubungan suami-istri seperti ini sebenarnya  justru membawa hubungan tersebut pada martabat yang lebih tinggi:  terdapat komitmen yang utuh (dalam suka maupun duka) dan terdapat  kerendahan hati. 
Masalah komunikasi 
Hal  lain yang ikut mendukung berkembangnya depresi Pak Didin adalah  komunikasi. Sejauh ini hubungan dengan istri dan anak tampak baik-baik  saja, tetapi ternyata Pak Didin menyimpan perasaan negatif yang amat  dalam, baik terhadap diri sendiri maupun terhadap istri tanpa  sepengetahuan sang istri. 
Perasaan  negatif dan depresi ini mungkin tidak berkembang seperti sekarang bila  sejak awal Pak Didin mengungkapkan segala keresahannya kepada istrinya.  Bila demikian, maka mungkin sudah sejak lama ia paham bahwa istrinya  tetap menghargai dirinya dan mungkin menjadi lebih menunjukkan  pengertiannya terhadap perasaan-perasaan yang dialami suaminya dan ikut  membesarkan hati suaminya.
Sejauh  ini, istri Pak Didin tampaknya tidak mengalami kekecewaan apa pun  terhadap suaminya. Bahwa ia tetap ceria dan senang menceritakan  pekerjaannya, hal ini merupakan petunjuk positif bahwa ia tetap  menghargai suaminya. Ia tidak mengubah penghargaan terhadap suami hanya  gara-gara penghasilannya lebih tinggi, memiliki berbagai atribut, dan  dana pensiun. Mungkin ia memang menghayati bahwa keberhasilan dirinya  adalah keberhasilan suaminya juga. 
Solusi
Setelah  memahami situasi yang membelit dirinya, Pak Didin dapat menentukan  beberapa langkah untuk mengatasi depresi, pikiran, dan perasaan  negatifnya.
- Berpikir positif, baik terhadap diri sendiri maupun terhadap istri, dan tidak menggeneralisasi kegagalan. Bila tujuan yang diharapkan belum tercapai, tidak berarti secara keseluruhan ia adalah pribadi yang gagal. Terbukti, ada teman yang memberikan kepercayaan berupa modal usaha; istrinya tampak tetap nyaman dan bahagia bersamanya; dan suasana keluarga terjaga harmonis. Semua ini pantas disyukuri.
 - Perlu sikap fleksibel dalam menyesuaikan diri dengan peran yang diperlukan sehubungan dengan perubahan dalam rumah tangga. Pandangan bahwa suami harus lebih unggul dalam mencari nafkah telah berpotensi menimbulkan konflik dan dapat menggagalkan perkawinan. Akan lebih bahagia dengan meyakini dan menerapkan pola hubungan kesetaraan dan kebersamaan yang utuh.
 - Perbaiki komunikasi dengan istri, mengingat komunikasi merupakan sarana menuju keterbukaan antarpribadi pasangan. Tanpa keterbukaan, persoalan demi persoalan menumpuk dan cepat atau lambat akan meledak. Hal tersebut dapat memicu keretakan hubungan. Sebaliknya, dengan komunikasi yang baik, kebersamaan akan tetap terpelihara, dan bukan tidak mungkin akan semakin mendorong semangat untuk bekerja hingga keberhasilan usaha lebih dapat segera terwujud.