Wednesday, March 2, 2011

Pemikiran Perempuan Tentang Perempuan


Hari beranjak siang. Matahari meninggi dan sinarnya terik memanasi bumi. Kura- kura yang pagi tadi berjemur di atas bebatuan kini mulai menyelam ke dalam air, mencari kesejukan. Dee masih duduk di depan meja dengan kursi menghadap pintu terbuka, jemarinya masih terus menari di atas deretan huruf- huruf pada laptop mungil di hadapannya. Saat menulis, Dee teringat tentang percakapannya dengan Kuti mengenai kemajuan perempuan, mengenai kesetaraan gender, mengenai kesamaan dan perbedaan esensial manusia saat diciptakan, dan mengenai hubungan antara kemajuan perempuan dengan kebahagiaan dalam pernikahan.

Dee tidak pernah mempercayai faham bahwa perempuan tidak membutuhkan laki- laki sama sekali dalam hidupnya. Bahwa laki- laki bagi perempuan fungsinya sama dengan sepeda bagi ikan- ikan yang berenang di lautan. Dee juga memahami bahwa secara fisik perempuan diciptakan berbeda dengan laki- laki dan perbedaan secara fisik ini kelak akan mempengaruhi cara pikir dan sudut pandang perempuan. Karenanya, secara natural Dee menerima pandangan bahwa laki- laki dan perempuan tidak sama. Karena Dee tahu memang perbedaan itu ada.

Tapi di pihak lain, Dee selalu mendukung kemajuan perempuan. Dee setuju pada faham dimana perempuan berhak memperoleh akses pendidikan yang sama dengan laki- laki. Dee setuju pada faham bahwa perempuan boleh berkarya di luar rumah, berkarir, yang pada akhirnya akan berujung pada kemandirian perempuan tersebut secara finansial.
Dee tak pernah sepakat pada faham yang mengatakan bahwa tugas perempuan adalah untuk melayani lelaki. Bahwa istri yang baik adalah istri yang membaktikan diri dan melayani suaminya.

Wow! Katakan itu pada Dee dan dia akan mengajukan beribu pertanyaan tentang hal tersebut. Sepanjang yang Dee tahu, penjelasan tentang hal itu selalu diberikan secara pendek, yaitu berhubungan dengan agama. Tetapi Dee juga selalu mempertanyakan hal tersebut. Sebab apa? Sebab jika benar begitu dalil yang dikatakan agama, dan hal itu diatur secara hitam putih, mengapa cerita- cerita teladan secara historis menunjukkan hal yang sebaliknya ?

Cerita teladan tentang para lelaki mulia menunjukkan keterlibatan yang dalam pada urusan domestik rumah tangga. Cerita teladan menunjukkan secara jelas bahwa lelaki diharapkan berperan aktif dalam pendidikan anak.

Dan mengapa sekarang semua itu digugat? Seakan- akan jika perempuan berpendidikan tinggi dan berkarya di luar rumah, maka dia melupakan kodrat. Mengapa sekarang banyak orang menerima faham bahwa pekerjaan domestik dan pendidikan anak semata- mata merupakan tugas istri ? Jika benar bahwa mendidik anak hanya merupakan tugas istri, hanya merupakan tugas Ibu, mengapa Yang Maha Mencipta mengatur bahwa seorang anak hanya dapat dilahirkan jika ada laki- laki dan perempuan terlibat di dalamnya? Bukankah itu tanda yang sangat jelas tentang perlunya keterlibatan laki- laki dalam membesarkan dan mendidik anak- anaknya?

Dee dengan senang hati akan melakukan ini dan itu bagi suaminya, termasuk hal- hal kecil seperti sekali- sekali membuatkannya minum. Tapi hal itu dilakukan atas nama cinta. Bukan karena kewajiban melayani suami. Dan karenanya Dee berpikir bahwa jika seorang istri tak melakukan itu, tidak pula dapat dia dicap ‘bukan istri yang baik’.

Dan… Dee sangat ingin mempertanyakan: benarkah bahwa perempuan yang berkarir melanggar kodrat, karena mengabaikan perkembangan anak- anaknya ? Mmm, secara obyektif, lihatlah ke sekitar, dan lakukan survey kecil. Dee selalu percaya bahwa anak- anak dapat tumbuh dengan baik walau kedua orang tuanya bekerja. Lihatlah begitu banyak anak berprestasi lahir dari ibu bekerja, baik ibu yang bekerja karena keinginannya untuk mengaktualisasikan diri maupun ibu yang bekerja karena kebutuhan ekonomi.

Dan…
Dee menghela nafas panjang. Baiklah, abaikan para ibu bekerja yang alasan utamanya adalah demi aktualisasi diri. Mari fokuskan pemikiran pada ibu bekerja yang alasan utamanya adalah untuk membantu kebutuhan ekonomi keluarga. Pernahkah terpikir bahwa fokus pemikiran perempuan saat bekerja dan mengatur keuangan sebenarnya adalah kepentingan keluarga? Jika seorang ibu bekerja dengan alasan ini dikatakan melanggar kodrat, maka, agar adil, perlu diajukan satu pertanyaan lagi: melanggar kodratkah suami yang tak dapat mencukupi kebutuhan finansial keluarganya sehingga istrinya perlu turun tangan mencari nafkah?
Dee selalu percaya bahwa dalam suatu pernikahan yang bahagia, suami dan istri selalu harus bergandeng tangan. Mereka harus bekerja sama dan bukan saling bersaing.

Dee berpendapat bahwa sebenarnya, tak perlu ada pertentangan tentang mana yang lebih baik bagi perempuan, apakah berkarya di luar rumah, menjadi ibu bekerja, atau memilih untuk sepenuhnya menjadi ibu rumah tangga. Karena hal tersebut adalah suatu pilihan hidup. Sepanjang apa yang diputuskan membahagiakan bagi perempuan tersebut, dan disepakati bersama oleh suami istri, maka, apa yang harus dipermasalahkan dalam hal ini?
Termasuk, Dee menerimanya sebagai kewajaran jika saat ini banyak istri yang memegang jabatan tinggi di kantornya dan berpenghasilan baik. Dee memegang teguh faham bahwa rasa cinta dan respek dalam keluarga tidak terletak pada jabatan apa yang tertulis dalam kartu nama, atau berapa jumlah uang yang dihasilkan baik oleh suami maupun istri dalam pekerjaannya. Jika pada dasarnya kualitas seorang laki- laki memang baik, wawasannya luas, visinya jelas, dengan sendirinya dia akan mendapatkan respek dari perempuan yang menjadi istrinya.

Itu tentang laki- laki dan perempuan dewasa. Selain itu, lihatlah fakta bahwa sekarang anak- anak perempuan ternyata juga berprestasi lebih baik dibandingkan anak laki- laki.
Jika hal tersebut secara natural diakui dapat menjadi sumber masalah, apakah anak- anak perempuan itu yang harus disalahkan, bukan sebaliknya bahwa para orang tua perlu mendorong anak- anak lelakinya untuk dapat berprestasi lebih baik dan tidak mendidik mereka dengan faham bahwa semata- mata karena mereka lelaki maka mereka berhak dihormati lebih dari perempuan?

Dan Dee selalu percaya bahwa…
Oppsss… Dee mulai menyadari bahwa permintaan Kuti untuk melanjutkan tulisannya tadi agak “berbahaya” sebab ternyata Dee menyimpan banyak sekali pemikiran tentang hal- hal tersebut…
Dee berhenti menulis dan bangkit dari kursinya. Dia memutuskan untuk beristirahat sejenak dengan berjalan- jalan sebentar di halaman sebelum meneruskan lagi apa yang sedang ditulisnya

Share this history on :