Saturday, March 26, 2011

Aku, istri dan anak-anak pada sebuah karpet


Adalah kisah didalam kehidupan rumah tangga saya (Andi) dimana pada waktu itu hampir setiap hari sepulang kerja, pasti istri saya atau yang biasa dipanggil Ibu, selalu saja ngomel-ngomel tidak karuan. Selidik punya selidik ternyata dia marah karena sepatu saya selalu meninggalkan jejaknya di atas karpet permadani ruang depan. Bukan hanya itu, rupanya anak-anak saya pun juga suka sekali bermain di atas karpet tersebut. Anak saya yang laki-laki selalu mengotorinya dengan memainkan mobil mainannya dari halaman rumah langsung masuk ke dalam lalu kembali lagi keluar, begitu seterusnya dan seterusnya hingga roda-rodanya meninggalkan jejak kotoran di atas karpet dan lantai rumah. Sedangkan anak saya yang perempuan suka bermain pasar-pasaran dengan mengguntingi kertas kecil-kecil sebagai barang dagangannya. Bahkan tak jarang pula ia memetik dedaunan dan bunga-bunga dari taman depan.
Sebenarnya kalau urusan belanja, cucian, makanan, kebersihan dan kerapian rumah, Ibu selalu dapat menanganinya dengan sangat baik. Rumah selalu tampak rapi, bersih dan teratur. Saya serta anak-anak pun sangat menghargai pengabdiannya itu. Cuma ada satu masalah. Istri saya yang saya kenal pembersih ini sangat tidak suka kalau karpet di rumah nampak kotor. Ia bisa meledak dan marah berkepanjangan hanya gara-gara melihat jejak sepatu saya atau kotoran lain dari anak-anak saya di atas karpet itu, dan suasana tidak enak pun akan berlangsung seharian. Padahal dengan dua orang anak di rumah, hal ini mudah sekali terjadi dan tentu saja itu akan sangat menyiksanya.


Lalu sayapun mulai introspeksi diri, dan juga mencoba untuk mencari solusi, gimana supaya Ibu tidak suka marah-marah lagi dan menerima keadaan itu dengan lapang dada lalu membersihkannya lagi dengan ikhlas. Lha mau gimana lagi namanya juga anak-anak. Kalau saya sih mungkin bisa merubah kebiasaan dengan melepas sepatu sebelum masuk rumah (kalau tidak lupa), tapi anak-anak? Saya rasa cukup sulit juga untuk melarang mereka main di atas karpet itu.


Akhirnya saya pun berinisiatif pergi menemui seorang sahabat lama yang kebetulan sudah sukses menjadi psikolog dan atas saran dari dia, saya pun lalu mengajak istri saya berkonsultasi padanya.

Ibupun lalu menceritakan segala apa yang menjadi masalah dan ganjalan hatinya selama ini.

Setelah mendengarkan cerita dari istri saya dengan seksama dan penuh perhatian, temen saya hanya tersenyum lalu berkata :


"Coba sekarang Ibu santai, pejamkan mata dan bayangkan saja apa yang akan saya katakan ini."

Istri saya kemudian duduk santai, merebahkan tubuhnya di sebuah kursi goyang kemudian mulai memejamkan kedua matanya.

"Coba Ibu bayangkan rumah Ibu yang rapi dan karpet Ibu yang bersih harum mengembang, tak ternoda, tanpa jejak sepatu dan tanpa kotoran sedikitpun. Bagaimana perasaan Ibu?"


Masih tetap sambil menutup mata, nampak istri saya tersenyum, mukanya yang tadinya murung berubah menjadi cerah. Ibu tampak senang dengan bayangan yang dilihatnya.

Teman saya pun lalu melanjutkan,

"Itu artinya tidak ada seorangpun di rumah Ibu. Tak ada suami, tak ada anak-anak, tak terdengar gurau canda dan tawa ceria mereka. Yaaah... mungkin suami Ibu sedang makan siang bersama wanita lain dan anak-anak Ibu sedang bermain di luar seharian sampai lupa waktu. Rumah Ibu sepi dan kosong tanpa orang-orang yang Ibu kasihi."


Seketika raut wajah istri saya berubah keruh, senyumnya langsung menghilang, nafasnya berat mengandung isak. Sepertinya, perasaannya terguncang dan pikirannya langsung cemas membayangkan apa yang tengah terjadi pada saya dan anak-anak.


"Sekarang lihat kembali karpet itu, Ibu melihat jejak sepatu dan kotoran di sana, dan itu artinya suami dan anak-anak Ibu ada di rumah, orang-orang yang Ibu cintai ada bersama Ibu dan kehadiran mereka menghangatkan hati Ibu."


Nampak istri saya mulai tersenyum kembali, ia merasa nyaman dengan visualisasi tersebut.


"Sekarang buka mata Ibu dan rasakan. Bagaimana? Apakah karpet yang kotor masih menjadi masalah buat Ibu?"


Tanpa menjawab, istri saya hanya tersenyum dan menggelengkan kepalanya.


Setelah cukup lama terdiam, akhirnya istri sayapun bicara,


"Saya tahu maksud Anda.
Jika kita melihat sesuatu dengan sudut pandang yang tepat, maka hal yang semula tampak negatif, pasti dapat dilihat secara positif."

Sejak saat itu, Ibu tidak pernah lagi mengeluh soal karpetnya yang kotor, karena setiap melihat jejak sepatu dan kotoran lain disana, ia tahu, bahwa saya dan anak-anak yang tentu saja sangat dikasihinya, sedang berada di rumah bersamanya.


Kita hidup memang tidak akan pernah terlepas dari suatu masalah, mungkin masalah itu sangat mempengaruhi cara berpikir kita selama ini. Suatu hal yang sebenarnya sangat sepele, bisa saja berubah menjadi masalah yang cukup besar jika melihatnya hanya dari satu sudut pandang. Sebaliknya, masalah yang besar akan dapat diatasi dengan begitu mudah jika kita mampu melihatnya dari sudut pandang yang tepat, dengan kata lain,
jika kita melihat sesuatu dengan sudut pandang yang tepat, maka hal yang semula tampak negatif, pasti dapat dimaknai secara positif

TerimakasihIBU On Twitter 
TerimakasihIBU On Mobile Version