Saturday, January 22, 2011

Ibunda adalah

Cerita tentang Ibu

Akankah kita membuat sang Bunda senantiasa tersenyum hingga diusia senjanya? Beliau adalah sosok pahlawan yang membuat kita bisa berdiri tegar seperti sekarang. Bisakah kita merawatnya kelak sebagai wujud balasan cinta? Jawaban apa yang akan kita beri? Mungkin “ya” saat ini. Tetapi siapa tahu nanti karena kesibukan kita dalam bekerja, kita anggap mereka terlalu merepotkan. Apalagi kita sudah berkeluarga dan mempunyai anak. Hanya ada satu keputusan, kita akan membawa sang bunda ke panti jompo. Beberapa bulan kemudian, kita dapat telepon dari panti jompo yang mengatakan, “Ibu Anda sudah meninggal.” Akankah kita berbuat lebih kejam lagi untuk sang bunda?

Mungkin ini salah wujud penghargaan yang diberikan kepada seorang ibu atas segala jasa dan pengorbanannya. Menurutku memang pantas. Aku pun mengambil ponsel yang tergeletak di meja kamar kostku. Aku mulai merangkai kata-kata indah untuk ibu. Sebelum kutekan tombol send, kubaca ulang tulisanku tadi. Terlalu berlebihan, ibuku tidak akan paham kata-kata puitis seperti ini. Kutekan tombol edit, jemariku mulai mengetik. SMS terikirm. Beberapa menit kemudian, balasan pesan ibu kuterima. “Kok pake ucapan hari ibu segala, hari ibu itu seharusnya setiap hari. Oh ya, minggu depan kamu pulang?” Aku tersenyum sendiri membaca pesan ibu. Aku jadi berpikir tentang pendapat ibu, memang benar kalau tidak cukup perhatian dan waktu kita untuk ibu tercinta hanya sehari saja.

‘Besok kamu pulang?’ Itulah pesan yang selalu kuterima dari ibu setiap hari Jumat. Dari dulu seperti itu, tidak ada kata-kata lain yang lebih kreatif. Padahal ibu tahu, semenjak bekerja aku pulang ke kota Tulungagung di minggu pertama setiap awal bulan setelah gajian. Dengan begitu, aku bisa membawakan sedikit oleh-oleh untuk keluarga dari hasilku bekerja. Entah itu buah-buahan atau sekotak kue brownies, yang pasti aku tidak akan pulang ke rumah dengan tangan kosong. Walaupun ibu sering bilang padaku kalau tidak perlu membawa oleh-oleh karena itu pemborosan. Melihatku pulang dengan keadaan sehat saja ibu sudah senang. Waktu mendengar kata-kata ibu, hatiku trenyuh. Dan aku baru sadar akan makna pesan ibu yang super sangat singkat itu.

Minggu sore, saatnya aku balik ke Surabaya. Kucium tangan ibu saat berpamitan. Tanpa bicara, ibu masih berdiri di ambang pintu rumah mengantar kepergianku. Begitu sampai di terminal Tulungagung, bus tarif biasa jurusan Surabaya lewat Kertosono telah mengangkutku. Sekitar empat sampai lima jam perjalanan. Waktu yang cukup untuk memejamkan mata sejenak. Tapi suara guyuran hujan membangunkanku. Bus berhenti di sebuah perempatan kota Kediri. Lampu pertanda merah. Dari balik kaca kulihat titik-titik air yang kian membesar berjatuhan dari atas langit, seorang ibu muda dengan perut berisi calon jabang bayi setengah berlari menerjang hujan. Tanpa payung. Dia pun segera masuk kedalam bus dalam keadaan setengah basah. Bola hitam matanya mencari tempat duduk kosong. Tanpa pikir panjang, aku mengangkat tanganku. Seperti kode rahasia, perempuan itu pun langsung menempati bangku kosong disampingku. Dia tersenyum dan mengucapkan terimakasih. Sebenarnya ada banyak pertanyaan yang sudah membendung dipikiranku untuk mengetahui perjalanan hidupnya, tapi aku menunggu waktu yang tepat. Hingga kulontarkan pertanyaan paling umum dan mendasar, “Turun mana Mbak?”

Awal yang bagus. Dan kisahnya terekam dalam memori otakku. Namanya Mbak Iin. Ditengah kehamilannya yang menua – berusia 7 bulan, dia ke Surabaya untuk bekerja sebagai karyawan toko di sebuah mall. Dia harus tetap bekerja sampai masa cuti hamil tiba. Jika tidak demikian, gaji tidak bakal didapat. Bukankah biaya persalinan saat ini tidak murah? Apalagi suaminya telah tiada sejak usia kandungannya satu bulan. Tapi mbak Iin sungguh tegar, tiada keluh kesah dalam setiap perkataannya. Dia menghadapi kemelut cobaan hidup ini dengan rasa syukur. Perjuangan seorang ibu yang luar biasa. Diakhir obrolan kami, mbak Iin berkata, “Bayi dalam kandungan ini yang membuat saya bertahan untuk hidup. Kamu masih muda, jangan pernah mengewakan ibumu.”

Saat diminta atasan untuk membuat desain logo sebuah komunitas, aku membuka kembali buku mata kuliah typografi yang tersimpan dalam kardus bawah ranjang kost. Sekedar mengingat filosofi dan jenis-jenis huruf, tiba-tiba saja aku teringat dengan dosenku. Ya, sejak kejadian itu hubunganku dengan ibu Nanik semakin dekat hingga sekarang. Ketika jam kuliah sedang berlangsung, Ibu Nanik – sang dosen jilbaber menerangkan definisi typografi. Huruf-huruf yang setiap hari kita jumpai dan bisa merangkai berbagai kata ini memiliki ribuan nama berdasarkan jenisnya. Ada yang menarik, hanya dengan satu huruf pun bisa mewakili sebuah makna bahkan filosofi. Ketika ibu Nanik menuliskan huruf “C” di white board, beberapa saat beliau terhenti. Lalu menghapusnya dan mengganti dengan huruf lainnya. Ada yang aneh, sepertinya huruf “C” mengingatkan sesuatu hingga raut muka Ibu Nanik mengisyaratkan kesedihan.

Ternyata benar. Diakhir jam mata kuliah, Ibu Nanik bercerita kalau anak bungsunya yang berawalan huruf “C” yaitu Citra sedang dirawat di rumah sakit. Kecelakaan menimpa ketika bocah yang saat itu berumur sembilan tahun, menyeberang jalan di depan sekolahnya. Ibu Nanik menunjukkan padaku kalung kecil berhiaskan huruf “C” yang akan diberikan untuk sang anak tercinta sebagai hadiah ulang tahunnya. Semestinya Citra meniup lilinnya dan tertawa riang bersama teman-temannya. Naluri seorang Ibu bekerja merasuki setiap hal terkecil apa yang dirasakan hati anaknya. Ini adalah wujud cinta sang bunda. Tiba-tiba aku mulai bisa merasakan gelombang cinta itu.

Lamunan panjangku buyar oleh bunyi dering SMS. Aku sedikit kaget, SMS dari ibu. “Besok hari Sabtu, kamu tidak pulang?” Seketika aku tersenyum sendiri membaca pesan ibu yang selalu sama itu. Ibu… ibu…. seandainya ibu ada didepanku sekarang, aku akan memeluk dan mencium pipi ibu.

Lorong rumah sakit ini suram. Tapi itu bukan alasanku untuk membenci rumah sakit. Nuansa serba putih yang hampir dipenuhi orang-orang dengan pancaran kesedihan inilah membuatku terasa hanyut dalam aliran air keruh. Tapi sebentar lagi aku akan menemukan satu titik jernih. Saat kubuka pintu kamar bernomor 6C aura kebahagiaan yang memancar. Bukan hanya satu titik jernih, tapi titik-titik itu membentuk garis. Lalu garis-garis itu membentuk bidang, dan bidang-bidang itu pun membentuk ruangan berisikan nuansa jernih. Mas Yudi, rekan kerjaku menyambut kedatanganku dengan jabatan tangan yang mantab. Wajah suramnya yang sering kujumpai saat ada masalah di kantor, lenyaplah sudah. Beberapa temanku yang lain sudah duluan tiba mengelilingi istri mas Yudi. Disampingnya, bayi mungil seberat 2,7 kg bergerak-gerak dengan mata masih tertutup.

Sang ibu masih terbaring lemas, tapi aura kebahagiaan mengalahkan rasa letihnya. Sembilan bulan jabang bayi berada di perut ibu, selama itu pula kita membebani setiap langkahnya dan menyerap sari-sari makanan ibu. Seberapa pun sakit dirasa, perjuangan ketika melahirkan adalah wujud cinta terdahsyat yang dilakukan ibu. Nyawa menjadi taruhannya. Setelah kita dilahirkan di dunia fana ini, apakah kita akan membalasnya dengan air tuba?

Beberapa bulan yang lalu kantorku pernah mengadakan kegiatan sosial bertema “Berbagi Kasih dengan Jompo”. Foto-foto dokumentasi acara tersebut memadati hardisk komputerku, berarti saatnya memindah ke DVD. Kukumpulkan folder-folder foto kegiatan seputar jompo. Ketika ku klik folder bernamakan Mbah Asni, wajah senjanya menghiasi monitor. Ah, bagaimana kabar Mbah Asni sekarang ya? Dulu, aku merekam aktivitasnya sehari-hari. Aku yang masih muda saja, jika harus berjualan keliling demi menjajakan kue seperti mbah Asni belum tentu sanggup. Usianya sudah berkepala tujuh, namun dia masih harus bekerja. Jam lima pagi, mbah Asni mendorong gerobak buatan suaminya menyusuri jalan-jalan yang mulai retak dimakan usia. Di sebuah rumah kecil, mbah Asni mengambil kue-kue titipan lalu menjajakannya keliling. Apa daya, sang suami tidak mampu bekerja lagi karena sakit. Keuntungan dari hasil jualan kue, digunakannya untuk hidup sehari-hari dan cicilan sewa rumahnya tiap bulan.

Berapa keuntungan hasil menjual kue? Aku sendiri hanya gigit jari dan menunduk malu ketika mbah Asni menyebutkan nominalnya. Lalu dimana anaknya? Air matanya tiba-tiba menetes. “Anakku wes ndak gelem karo wong tuwone. Wes pirang-pirang tahun ndak muleh.” (Anakku sudah tidak mau dengan orang tuanya. Sudah bertahun-tahun tidak pulang). Mendengar jawaban itu, hatiku berteriak. Berontak. Ya Tuhan, cerita Malin Kundang telah berjaya dengan berbagai versi. Akankah kita berbuat lebih kejam lagi sebagai balasan wujud cinta kepada ibu?

“Say it with Blog Writing Contest”, aku membaca tulisan itu di internet. Tentang siapa orang yang paling kamu cintai. Aku sudah tahu jawabannya, dan telah kutuliskan dalam coretan-coretan buku kecilku sehari-hari. Ibu, adalah jawaban cinta yang sebenarnya. Bukankah cinta itu harus tulus? Bukankah cinta itu memberi tanpa mengharap balasan? Bukankah cinta itu tidak cukup hanya sehari? Bukankah cinta itu perasaan senang jika kita berada di dekatnya? Bukankah cinta itu adalah naluri yang bekerja merasuki setiap hal terkecil apa yang kita rasakan? Bukankah cinta itu butuh pengorbanan? Bukankah cinta itu perjuangan? Dan semua cinta itu hanya kutemukan dalam diri ibu. Dering smsku pun berbunyi. Ya Tuhan, pesan dari ibu. Aku selalu tersenyum jika membaca pesan ibu. Dan satu lagi, bukankah cinta itu adalah orang yang membuatmu tersenyum dan mengirimu pesan ‘besok kamu pulang’?