Wednesday, May 25, 2011

Antara Aku, Ayah dan Sebuah Koin


Yang Ayah wariskan kepada anak-anaknya bukan kata-kata atau kekayaan,
tetapi sesuatu yang tak terucapkan yaitu 
teladan sebagai seorang pria dan seorang Ayah
Will Rogers

Setahuku, kaleng bekas itu selalu ada di lantai di samping lemari di kamar orangtuaku. Sebelum tidur, Ayah selalu mengosongkan kantong celananya lalu memasukkan semua uang recehnya ke dalam kaleng tersebut. Sebagai anak kecil, aku senang mendengar gemerincing koin yang dijatuhkan ke dalam kaleng. Bunyi gemericingnya nyaring jika kaleng itu baru terisi sedikit. Nada gemerincingnya menjadi rendah ketika isinya semakin penuh. Aku suka jongkok di lantai di depan sambil memperhatikan kelang tersebut, mengagumi keping-keping perak dan tembaga yang berkilauan seperti harta karun bajak laut ketika sinar matahari menembus melalui jendela kamar tidur.

Jika isinya sudah penuh, Ayah menuangkan koin-koin itu ke meja dapur, lalu menghitung jumlahnya sebelumnya membawanya ke bank. Membawa keping-keping koin itu ke bank selalu merupakan peristiwa besar. Koin-koin itu ditata rapi di dalam kotak kardus dan diletakkan di antara aku dan Ayah di mobil tuanya. Setiap kali kami pergi ke bank, Ayah memandangku dengan penuh harap. "Karena koin-koin ini kamu tidak perlu kerja di pabrik kaleng bekas. Nasibmu akan lebih baik dari pada nasibku. Kota tua dan pabrik kaleng bekas disini takkan bisa menahanmu." Setiap kali menyorongkan kotak kardus berisi koin itu ke kasir bank, Ayah selalu tersenyum bangga. "Ini uang kuliah putraku. Dia takkan bekerja di pabrik kaleng bekas seumur hidup seperti aku.".

Pulang dari bank, kami selalu merayakan peristiwa itu dengan membeli es krim. Aku selalu memilih es krim cokelat. Ayah selalu memilih yang vanila. Setelah menerima kembalian dari penjual es krim, Ayah selalu menunjukkan beberapa keping koin kembalian itu kepadaku. "Sampai di rumah, kita isi ke kaleng itu lagi ya.."

Ayah selalu menyuruhku memasukkan koin-koin pertama ke dalam kaleng yang masih kosong. Ketika koin-koin itu jatuh bergemerincing nyaring, kami saling berpandangan sambil tersenyum. "Kamu akan bisa kuliah berkat kumpulan koin satu ini" katanya. "Kamu pasti bisa kuliah. Ayah jamin."

Tahun demi tahun berlalu. Aku akhirnya memang berhasil kuliah dan lulus dari universitas dan mendapat pekerjaan di kota lain. Pernah, waktu mengunjungi orangtuaku, aku menelepon dari telepon di kamar tidur mereka. Kulihat kaleng bekas itu tak ada lagi. Kaleng bekas itu sudah menyelesaikan tugasnya dan sudah di pindahkan entah ke mana. Leherku serasa tercekat ketika mataku memandang lantai di samping lemari tempat kaleng bekas itu biasa di letakkan.

Ayahku bukan orang yang banyak bicara, dia tidak pernah menceramahi aku tentang pentingnya tekad yang kuat, ketekunan, dan keyakinan. Bagiku, sebuah kaleng ini telah mengajarkan nilai-nilai tertentu dengan lebih nyata daripada kata-kata indah.

Setelah menikah, kuceritakan kepada Mayarni, istriku, bahwa dulu adalah betapa pentingnya peran kaleng bekas ini yang tampaknya sepele dalam hidupku.

Bagiku, ini melambangkan betapa besarnya cinta Ayah. Dalam keadaan keuangan sesulit apa pun, setiap malam Ayah selalu mengisi beberapa koin kedalam kaleng bekas itu. Bahkan di musim panas ketika Ayah diberhentikan dari pabrik dan Ibu terpaksa hanya menyajikan buncis kalengan selama berminggu-minggu, satu keping pun tak pernah di ambil dari dalam kelang tersebut. Sebaliknya, sambil memandangku dari seberang meja dan menyiram buncis itu dengan saus agar ada rasanya sedikit, Ayah semakin meneguhkan tekadnya untuk mencarikan jalan keluar bagiku. "Kalau kamu sudah tamat kuliah," katanya dengan mata berkilat-kilat, "kamu tak perlu makan buncis kecuali jika kamu memang mau."

Ahir tahun telah sampai setelah lahirnya putri kami Biyan Nazula, kami habiskan di rumah orangtuaku. Setelah makan malam, Ayah dan Ibu duduk berdampingan di sofa, bergantian memandangku cucu pertama mereka. Biyan menagis lirih. Kemudian Mayarni mengambilnya dari pelukan Ayah. "Mungkin popoknya basah," kata Mayarni, lalu dibawanya Biyan ke kamar tidur orangtuaku untuk di ganti popoknya. Mayarni kembali ke ruang keluarga denga mata berkaca-kaca. Dia meletakkan Biyan ke pangkuan Ayah, lalu menggandeng tanganku dan tanpa berkata apa-apa mengajakku ke kamar.

"Lihat," katanya lembut, matanya memandang lantai di samping lemari. Aku terkejut. Di lantai, seakan tidak pernah di singkirkan, berdiri kaleng yang sudah tua itu. Di dalamnya ada beberapa keping koin. Aku mendekati kaleng itu, merogoh saku celanaku, dan mengeluarkan segenggam koin. Dengan perasaan haru, kumasukkan koin-koin itu kedalam kaleng. Aku mengangkat kepala dan melihat Ayah. Dia menggendong Biyan dan tanpa suara telah masuk ke kamar. Kami berpandangan. Aku tahu, Ayah juga merasakan keharuan yang sama.. Kami tak kuasa berkata-kata.

*****

Well guys, cerita ini memang yang sedang kami alami, setiap waktu apabila ada duit lebih tak perduli koin atau pun duit kertas, kami slalu memasukkan kedalam sebuah kaleng. Berharap nantinya duit ini akan berguna bagi Biyan Nazula kelak.

Moral cerita diatas adalah tidak hanya menunjukkan besarnya cinta seorang Ayah ke anaknya agar anaknya dalam memperoleh nasib yang jauh lebih baik dari dirinya tetapi lebih diajak kedalam sebuah proses. Sang Ayah tidak saja menunjukkan cintanya tetapi menunjukkan sesuatu yang sangat berharga yaitu pelajaran tentang perjuangan, impian, tekad, teladan dari seorang Ayah, disiplin, pantang menyerah dan orang yang bilang “KAMU PASTI BISA”

Kami percaya Sang anak belajar semua itu walaupun Ayahnya mungkin tidak pernah menjelaskan semua itu karena anak belajar jauh lebih banyak dari melihat tingkah laku orangtuanya dibanding apa yang dikatakan orangtuanya.


We pround with you