Wednesday, January 19, 2011

Sahabat sayangi Ibumu

Pautan dua cinta yang terikat kuat antara ibu dan anak sepertinya takan pernah putus.
Tetapi kekokohannya bukan tidak mungkin usang dan kendur. Dan selalu anak yang
mengendurkan tali kasih itu. 

Ibu, rasanya terlalu mulia untuk dituduh mengusangkan
kekokohan pautan cinta suci yang berakar di hatinya.

Ibu tidak pernah mengumbar janji untuk menyayangi anaknya. Derai air mata dan

cucuran peluhnya jauh lebih nyaring mengatakan “sayang” ketimbang janji manis atau
bahkan omelannya ketika si anak berulah. Baginya cinta dan sayang selalu ada untuk
anak-anaknya, hingga ia tak perlu lagi janji, karena janji hanya untuk sesuatu yang belum tersedia.

Tetapi terkadang janji adalah suara sehari-hari yang sampai ke telinga seorang ibu

dari mulut anak-anaknya. Dan sering kali janji itu jauh lebih memekakan telinga daripada
menjernihkan mata karena melihat bukti dari janji-janji itu.

Ada sebuah fragmen yang cukup menarik, dikisahkan pada suatu ketika seorang

anak yang merasa sudah cukup sukses berucap janji kepada orang tua yang
tinggal satu-satunya; ibu yang sangat disayanginya. “Ibu, kalau sudah punya
cukup uang saya ingin sekali mengongkosi ibu naik haji.” Ibunya tersenyum.
Dari ujung matanya kristal-kristal bening meleleh. Didekapnya buah hati yang
memiliki niat baik itu. Tanpa suara. Hanya dadanya yang bergemuruh memikul
haru yang begitu besar. Bayangan masa-masa kecil anaknya yang menyimpan
banyak kenangan manis lalu pun hadir. Disusul bayangan kerinduan yang sangat
untuk berziarah ke baitullah. Dalam hatinya ia berucap, “Semoga niat sucimu
terkabul, sayang.” Dan sebuah kecupan mendarat di dahi puterinya yang cantik itu.

Waktu pun berlari menyisakan hitungan hari, hingga pada suatu saat keberuntungan

berpihak pada puteri cantik pemilik niat baik itu. Bersama suami dan anak-anaknya
ia kembali ke tanah air dari tugas dinas suaminya. Tentu di kantong keluarga kecil itu
telah terkumpul cukup uang. Hal ini dipahami oleh sang ibu. Seketika hatinya
berbunga menyambut kepulangan anak, mantu, dan cucunya.

Namun meski demikian, pantang bagi si ibu untuk mengungkit janji yang pernah

diucapkan puterinya tentang naik haji itu. Ia tak ingin selaksa amalnya terkotori
oleh sedikit pun pamrih. Namun, puterinya yang cantik itu seperti lupa dengan
janji yang diucapkannya. Seminggu, sebulan, dua bulan, dalam hati, seorang
bunda menunggu-nunggu anaknya yang mungkin akan memberikan buku ONH (Ongkos Naik Haji)
atas namanya dan suaminya. Waktu pun berlalu tanpa suara, seperti tak berani janji
kapan peristiwa itu akan terjadi. Hingga tibalah suatu hari, hati seorang bunda pecah
dalam diam ketika anaknya itu membeli sebidang tanah seharga tiga kali ongkos haji
untuk dibuat kolam ikan dan tempat peristirahatan keluarga kecilnya bila pulang ke desa.

Tak tahu sebesar apa gemuruh yang bergelombang di dada ibu, hanya dia yang tau,

karena ia tetap tersenyum di depan semua anaknya. Tak terkecuali di depan puterinya
yang cantik itu. Ia tak pernah menagih janji anaknya, bahkan sekedar mengungkit pun tidak.
Tapi, entah isyarat apa ketika ikan-ikan di kolam anaknya tak pernah menghasilkan keuntungan.
Rumah peristirahatannya pun menjadi hanya sebatas rumah kosong yang tidak banyak
memberi manfaat. Lalu, entah isyarat apa ketika anak-anak yang lain yang ikut menggunakan
uang anak perempuan ibu itu untuk berbagai usaha, tak satu pun dari mereka yang sukses.
Alih-alih, sebuah kesalah-pahaman keluarga terjadi meretakan keharmonisan keluarga
ibu yang diingkari janji itu.

Entah isyarat apa. Apakah itu akibat sakit hati ibu karena anaknya sendiri telah mengingkari

janji untuknya? Hanya “mungkin” jawabannya. Karena senyum ibu tidak pernah berubah
untuk semua anaknya; do’a ibu tidak pernah berganti untuk semua buah hatinya, selalu
untuk kebaikan; dan pangkuan serta pelukannya selalu terbuka untuk seluruh belahan jiwanya.
Tapi apakah seorang ibu tidak bisa sakit hati? itu juga pertanyaan yang tidak mudah dijawab.
Karena ibu juga manusia biasa, tapi sangat luar biasa jasanya. Terlalu mahal semua jasanya
untuk ditukar dengan janji-janji kosong. Mungkin kekebalan hati seorang ibu telah mampu
menyembunyikan sepedih apapun sakit hatinya.

Mungkin lautan kasih sayang ibu terlalu dalam untuk sekedar menenggelamkan sebesar apapun

kesalahan anak-anaknya hingga tak muncul kepermukaan. Tetapi sebagai anaknya,
kita harus memahami sifat manusiawi ibu kita, bahwa beliau juga punya hati yang sakit
jika tergores.
Jadi, berhati-hatilah memelihara janji yang pernah diucapkan di hadapan bunda.

Sahabat, sayangi ibumu, ibumu, ibumu!